Candu



"Saya bukan perawan."
"Saya juga."
"Bukan perawan?"
"Bukan. Bukan perjaka."
"Owh...."

Bila ini adalah hari kemarin, saya masih berpikir bahwa belajar akan selalu mendahului kelakuan atau perlakuan. Belajar dahulu, hidup kemudian. Begitu kira-kira. Tapi hari ini adalah hari ini. Setelah mengubah filosofi hidup hanya dalam tempo satu malam, percakapan sevulgar itu menjadi wajar saja. Walau ini Indonesia. Walau ini di siang yang lebih membutakan daripata pagi buta. Walau dia, wanita itu, sama sekali tidak mengenal saya.


Kalau saja saya bertemu dengannya minggu lalu, mungkin saya akan menganggapnya gila. Tapi kali ini, ketika seorang wanita mengutarakan status keperawanannya saya malah mendengarnya sebagai sapaan selamat siang. Parahnya lagi saya menyambutnya dengan membongkar rahasia keperjakaan saya. Selamat siang.

* * *
"Selamat siang, Mas." Kali ini bukan halusinasi. Seyakin-yakinnya saya sempat mencoba mengeja, s-e-l-a-m-a-t-s-i-a-n-g. Ini pertemuan kedua kami minggu ini. Yang pertama memang ketidaksengajaan, ketika saya hendak menanyakan alamat ke sembarang penduduk lokal. Yang kedua ini, saya sengaja datang dengan dalih membeli bunga. Bukan karena keperawanan tentu saja, ini lebih pada rasa penasaran.
"Mau beli bunga, Mas?"
"Iya."
"Bunga apa, Mas?"
"Hmm, mawar." Ah, sial! Seharusnya aku setidaknya membekali diri dengan pengetahuan dasar tentang bunga sebelum aku berpikir untuk berdalih membeli bunga hanya untuk bertemu sekali lagi dengan wanita penjual bunga yang telah kehilangan keperawanannya.
"Untuk pacarnya ya, Mas?"
Saya diam. Tangan saya hampir seperti refleks merogoh saku jaket. Jaket yang sama dengan yang saya pakai ketika saya kemari untuk pertama kalinya. benda itu masih ada disana. Secarik kertas yang kusut menggumpal dengan barisan huruf angka penunjuk alamat tinta biru di atasnya. Sebuah alasan fundamental yang membawa saya menginjakkan kaki di toko bunga ini adalah menanyakan alamat tinta biru itu. Pertanyaan wanita penjaga toko sontak menyadarkan saya, pacar? Justru saya kemari untuk mencari kekasih saya yang dibawa kabur orang. 

Tidak. Itu hari kemarin, hari dimana hati saya luka dan mungkin dipatahkan cinta, atau apapun kata yang dapat mewakili kata-kata manis, belaian, ciuman dan sesekali saling memandang setelah tertidur kelelahan selama empat tahun terakhir. Hari ini saya datang untuk sekali lagi mendiskusikan keperawanan dengan wanita penjaga toko bunga ini, karena dengan tak terduga pernyataannya menghapus kekalutan batin saya. Hanya saja saat ini saya bingung, bagaimana cara menanyakan [lagi] keperawanan seorang wanita dengan cara yang sopan.

"Silakan bertanya kepada saya, Mas. Saya sudah tiga tahun bekerja di sini. Jadi kalau Mas-nya bingung mau membeli bunga apa saya bisa menyarankan salah satu jenis bunga sesuai keperluan. Karena, maaf ya Mas, sepertinya ini bukan untuk pacar ya?"
"Saya..emhh...saya yang tempo hari datang kesini."
"Wah, pelanggan kami ratusan Mas." Saya jadi semakin kikuk karena semakin tidak menemukan kata yang pantas.
"Saya yang sudah tidak perjaka lagi." kalimat yang dengan segera saya sesali sepersekian detik setelah berlalu hambar diikuti kesunyian yang membuat saya haus setengah mati. Tanpa saya sangka dia tertawa kecil, seakan menggumam, "Oh, yang itu..." 

* * *
Saya lega melihat hamparan rumput hijau dan angin semilir sejuk. Sama leganya dengan keran yang mengalir lancar atau pun urinasi yang lama tertahan. Segala kewajaran ketika terhambat berarti masalah, seperti mobil yang tidak sewajarnya terjebak macet di jalanan. Dan akan menenangkan ketika tak terbendung, seperti luapan endorphine saat orgasme. Saya yang kehabisan kata tiba-tiba tersadar telah larut kembali dalam percakapan keperawanan-keperjakaan yang berkembang menjadi intimasi layaknya karib lama yang kembali bertemu. Saya bercerita tentang pacar yang pergi meninggalkan saya dengan pria lain padahal saya yakin telah menanamkan seekor sperma ke dalam uterusnya. Dia mengisahkan kehidupan masa lalunya yang kelam setelah diperkosa anak tetangga yang buas setelah menonton video porno dari ponsel ayahnya. Dilanjutkan dengan obrolan ringan yang diselingi beberapa pembeli bunga, dan diakhiri dengan janji akan bertemu kembali. Hangat, menenangkan, menyenangkan. Wanita penjual bunga itu mungkin saja berbakat menjadi hipnoterapist, tapi dia lebih seperti candu bagi saya. Candu dengan efek euforia berkepanjangan, bahkan saya tidak merasakan kecut sedikit pun ketika saya menyadari lembaran seratusribuan di saku saya raib entah kemana. Saya kecanduan.

"Bodoh kamu Yo! Kamu tergila-gila sama penjual kembang padahal pacar kamu lari bawa calon anak kamu? Kamu phone sex without phone sampe gag sadar duit kamu hilang dirogoh sama orang itu? Dimana kewarasanmu, Yo??"
Itu sebenarnya bukan pertanyaan yang sesungguhnya. Bukan kewarasan saya yang harus dipertanyakan, karena saya sendiri yang lari setelah menanggalkan kewarasan saya. Lari ke pelukan penjual kembang yang walau sudah tidak perawan, telah merangkai kembali hati saya. Kekhawatiran seorang kawan baik saya anggap sebagai sebuah bentuk perhatian yang berlebihan.

"Saya kan sudah bilang sama Mas Yo, saya sudah tidak perawan lagi." Ini kunjungan ketiga saya, toko bunga masih sepi. Dia sedang merapikan deretan pot dengan bunga kekuningan. Saya sendiri berpakaian sangat rapi, seragam wakuncar ketika saya belum ditinggal kawin lari. Di kantong saya ada lembaran seratus ribuan, lima lembar tepatnya. Ini sepenuhnya ide kawan baik saya, yang yakin bahwa saya adalah salah satu korban gendam seorang wanita penjual bunga. Saya sepenuhnya tidak setuju. Tidak percaya. Saya pembeli disini, pembeli candu.
"Apa kata orang nanti kalau pengusaha seperti Mas Yo berpasangan dengan penjual bunga seperti saya, bukan gadis pula."
Saya pulang dengan hati yang semakin berbunga. Uang saya hilang dua lembar, saya yakin karena penjaga kasir tempat saya membeli tisu basah salah memberi kembalian. Kawan baik saya memvonis saya gila. 

Tentu saya bisa gila, bila lama tidak berjumpa dia. Candu saya. 
Kunjungan keempat saya ke toko bunga tercinta. Kali ini saya tidak lagi menaruh uang pancingan di kantong demi menjebak pelaku gendam yang memang tidak ada. Memang seperti keyakinanku, kalau perlu uang, dia akan mengatakannya pada saya.
"Mas, hari ini saya akan mengenalkan Mas pada ibu saya dari kampung. Apa saya boleh pinjam uang seratus ribu untuk menjemput ibu di stasiun? Hari ini belum ada bunga yang laku."
"Saya antar saja ya?"
"Nanti ibu saya kaget kalau melihat saya diantar dengan mobil mewah, lebih baik kita bertemu di sini lagi nanti malam." 
Setelah perpindahan uang dua ratus lima puluh ribu ke tangannya, saya mendapat ganti sebuah ciuman hangat, nyaris di bibir.
"Ingat nanti datang lagi ya Mas." Tentu saja candu.

Beberapa langkah dari toko bunga, mungkin beberapa meter, saya gagal menemukan kunci mobil saya di saku celana. Ah, tentu ketinggalan di toko bunga, saya berbalik. Sejenak saya berpikir telah berbalik ke arah yang salah, karena bukan toko bunga yang saya temukan melainkan bengkel motor spesialis tambal ban bocor. 
"Maaf, toko bunga yang disini dimana ya Pak?"
"Wah, di sini tidak ada toko bunga Dik. Jangankan untuk membeli bunga, makan saja penduduk kampung sini sisah, Dik"
"Kalau Sonia yang penjual bunga, Bapak kenal?"
"Haduhh..Adik ini, di sini tidak ada Sonia penjual bunga, yang ada Supari ahli tambal ban. Itu saya."
"..."
Sepertinya saya mulai bingung. Semuanya sama kecuali toko bunga yang tidak ada. Semuanya sama kecuali Sonia, wanita yang tidak lagi perawan yang mencandui saya hilang begitu saja.
Candu saya hilang.
Cinta saya hilang.
Euforia hilang.
Ketika saya memalingkan wajah dengan putus asa ke bawah lampu jalan tempat saya memarkir mobil kesayangan,
                  mobil saya juga hilang.

~ ~ ~
Jam dinding Keroppi menunjukkan
pukul 2.40 a.m

0 komentar:

Posting Komentar